Pekanbaru – Seperti penyakit yang dibiarkan menyebar, korupsi di Riau kini telah sampai pada fase paling mematikan. Stadium empat. Di mana-mana berbau amis uang negara yang dikeruk, dimanipulasi, dan dialihkan secara sistemik. Di tengah keputusasaan publik terhadap kepemimpinan dan integritas institusi, Lembaga Anti Korupsi Riau (LAKR) menyuarakan kegelisahan itu dengan lantang, bukan sekadar suara bisik-bisik di pinggiran.
Dalam percakapan bersama beberapa pimpinan redaksi media massa di Pekanbaru, Direktur LAKR, Armilis, menyampaikan bahwa apa yang dilakukan lembaganya selama ini bukanlah agenda personal, bukan pula proyek politik terselubung. Tidak ada motif menyasar individu atau membidik nama-nama tertentu untuk didiskreditkan. “Kami bukan pemburu kepala,” ujarnya tegas. “Kami sedang menyusun peta penyakit. Dan dalam peta itu, hampir semua titik berwarna gelap.”
Korupsi di Riau, lanjutnya, bukan lagi praktik menyimpang yang dilakukan segelintir orang di ruang tertutup. Ia telah menjelma sebagai sistem, sebagai jaringan yang bekerja secara kolektif, saling melindungi, saling menjaga rahasia, dan saling mengunci. Dari legislatif ke eksekutif, dari dinas ke lembaga pengawasan, dari pengadaan proyek ke permainan anggaran, bahkan ke jantung inspektorat, semua terhubung oleh kepentingan dan kehausan akan kekuasaan dan kekayaan. Dalam istilahnya, “yang kita hadapi bukan peristiwa hukum, tapi arsitektur kejahatan.”
Armilis menyitir Teori Jaringan (Network Theory) untuk memperkuat argumennya: korupsi tidak lagi bisa dianggap sebagai perilaku menyimpang yang berdiri sendiri. Ia hidup dalam jejaring kepentingan, melibatkan birokrat, pengusaha, dan tak jarang penegak hukum itu sendiri. Maka, bila masih ada yang bertanya kenapa pelaku-pelaku besar sulit disentuh, jawabannya sederhana: mereka punya jaring, dan jaring itu melindungi. Jalan keluarnya pun harus jelas: bukan sekadar seruan moral, tetapi tindakan nyata berupa pemutusan jaringan, pelacakan aset, dan pembongkaran sistematis terhadap sindikat.
Namun di sinilah keraguan justru terasa: aparat penegak hukum kerap berjalan lamban, atau malah berhenti sebelum melangkah. Laporan-laporan masyarakat disimpan rapi dalam map plastik, lalu dibiarkan lapuk di lemari. Padahal bukti telah tersedia, bahkan beberapa disertai data yang terbuka di ruang publik. “Hukum tanpa eksekusi adalah ilusi,” kata Armilis. “Dan ilusi keadilan lebih menyakitkan ketimbang ketiadaan hukum itu sendiri.”
Dalam pembiaran itu, tumbuhlah generasi baru para politisi dan pemimpin palsu. Mereka tampil seolah peduli, seolah dekat dengan rakyat, seolah mencintai negeri ini. Namun ke mana pun mereka pergi, kamera lebih dulu datang, dan narasi pencitraan disusun rapi di balik tabir manipulasi opini. Mereka bicara moral di depan publik, tapi sebenarnya mereka tikus yang menggerogoti uang rakyat Mereka hidup super mewah di atas harta yang bukan miliknya, lalu menyuruh rakyat bersyukur atas kebijakan yang sebenarnya sudah didesain menjadi modus pencurian. “Ini yang berbahaya lagi dari korupsi, kemunafikan yang dilembagakan,” tegas Armilis. Dalam negara yang membiarkan pembohong menjadi pemimpin, maka anak-anak bangsa sedang diwarisi kekacauan sebagai warisan kerusakan peradaban.
Namun LAKR, katanya, tidak ingin larut dalam pesimisme. Ia menyampaikan bahwa selain penindakan, negara juga harus hadir dalam bentuk pencegahan dan pembinaan. Jika aparat penegak hukum merasa kekurangan sumber daya untuk melakukan penyadaran dan pendidikan antikorupsi, LAKR siap terlibat. Bukan karena ingin panggung, tetapi karena ingin kebaikan untuk generasi di masa depan.
Di akhir pernyataannya, ia mengajak masyarakat untuk tidak menyerah pada kebiasaan diam. “Selama rakyat bungkam, koruptor pasti semakin nikmat berpesta. Selagi kita memilih aman dalam diam, mereka ini akan terus bergentayangan. Dan jika negara, dalam hal ini aparat hukum, masih memiliki akal sehat dan hati nurani, maka inilah saatnya bangun dan bertindak.”
LAKR tidak sedang mengancam, memainkan drama politik, apalagi membuat kegaduhan. Anasir civil society ini hanya melakukan upaya untuk turut menyelamatkan bangsa yang sedang berdiri di tepi jurang, di Riau khususnya. Pertanyaannya tinggal satu: apakah kita akan tetap menonton, atau mulai turut serta melangkah bersama?
***