JAKARTA-Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Senin (11/09/2023). Sidang dilaksanakan oleh Panel Hakim yang terdiri atas Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Agenda sidang yaitu pemeriksaan perbaikan permohonan Nomor 83/PUU-XXI/2023. Cuaca selaku kuasa hukum Pemohon menyebutkan beberapa perubahan dalam perbaikan permohonan. Salah satunya mengenai penambahan Pemohon dengan masuknya badan hukum atas nama PT Putra Indah Jaya sebagai Pemohon.
Berikutnya Cuaca juga menyebutkan perbaikan permohonan sebagaimana nasihat panel hakim pada persidangan sebelumnya, misalnya mengenai penulisan norma pasal. Kemudian uraian mengenai tata-cara pemeriksaan terhadap bukti permulaan tindak pidana perpajakan dan legal standing PT Putra Indah Jaya (Pemohon II) yang disertai dengan bukti-bukti perkara.
“Penambahan Pemohon II ini karena pihaknya pernah mengalami kasus konkret di mana pernah diperiksa Dirjen Pajak dan pernah pula menjalani praperadilan untuk pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan,” sebut Cuaca yang mengikuti persidangan secara langsung dari Gedung I MK, Jakarta.
Sebagai tambahan informasi, Permohonan Nomor 83/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Surianingsih dan PT Putra Indah Jaya. Para Pemohon mengujikan Pasal 43A ayat (1) dalam Pasal 2 Angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), sepanjang frasa “…pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan”, dan Pasal 43A ayat (4) dalam Pasal 2 Angka 13 UU HPP sepanjang frasa “Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan”.
Pasal 43A ayat (1) UU HPP menyatakan, “Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan”.
Pasal 43A ayat (4) UU HPP menyatakan, “Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (28/08/2023), Cuaca selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam kasus konkret saat dilakukan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) tindak pidana perpajakan sesuai ketentuan Pasal 43A ayat (4) UU HPP, Pemohon harus mengalami upaya paksa seperti penyegelan dan penggeledahan yang dapat dilakukan oleh penyidik (PPNS) dalam rangka pemeriksaan bukper. Hal ini menurut Pemohon tidak dapat pula digugat melalui Praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebab surat-surat yang diterbitkan dalam rangka pemeriksaan bukper tersebut merupakan surat-surat yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana yang dikecualikan dari kompetensi PTUN.
Pemohon melihat hal ini menunjukkan tidak ada keseimbangan hukum dan perlindungan hak asasi manusia bagi wajib pajak yang diperiksa dalam pemeriksaan bukper tindak pidana perpajakan. Selain itu, pada faktanya terdapat pula putusan pengadilan yang berbeda-beda berkaitan dengan permohonan praperadilan terhadap pemeriksaan bukper tindak pidana perpajakan.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan frasa “pemeriksaan bukti permulaan sebelum penyidikan” dalam Pasal 43A ayat (1) dalam Pasal 2 Angka 13 UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap tindakan-tindakan dalam pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, yaitu:
a. meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. mengakses dan/atau mengunduh data, informasi, dan bukti yang dikelola secara elektronik;
c. memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan tertentu, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegintan wusaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
d. melakukan Penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/ atau barang tidak bergerak;
dapat diajukan upaya hukum Praperadilan ke Pengadilan Negeri”.
Pemohon juga meminta MK menyatakan frasa “Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan” dalam Pasal 43A ayat (4) dalam Pasal 2 Angka 13 UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai “hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara”.
Sumber : Humas Mahkamah Konstitusi