Kisah SP NIBA AJB Bumiputera 1912 dan Aliansi Korban PT WAL Mencari Keadilan

12 September 2023

 

JAKARTA-Sekjen SP NIBA Bumiputera 1912 Irwan Nuryanto, dan Ketua Aliansi Korban Wanaartha Life Johannes Guntoro Fistanio, memberikan keterangan dalam sidang uji materiil Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 ayat (5)  dan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) pada Senin (11/9/2023). Sidang keenam dengan agenda mendengarkan keterangan Saksi Pemohon VI ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman bersama dengan Wakil Ketua MK Saldi Isra berserta hakim konstitusi lainnya.

Irwan Nuryanto menceritakan, sebagai bagian dari pekerja dan serikat pekerja yang beranggotakan lebih kurang 1.400 pekerja seluruh Indonesia ini, terdapat senilai 800 miliar hak-hak para pekerja belum ditunaikan oleh perusahaan. Hal ini terjadi akibat dari permasalahan likuiditas keuangan yang dialami perusahaan tempatnya bernaung beberapa tahun silam. Dalam upaya hukum, Irwan menjabarkan beberapa langkah yang telah ia dan teman-teman pekerja lakukan untuk mendapatkan hak mereka. Di antaranya, mengirimkan surat hingga beberapa kali pada 2019, 2020, hingga 2022 dengan berbagai judul permintaan atas hak-hak dari pihak serikat pekerja yang perlu dibantu untuk diperjuangkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).  

Atas sekian banyak surat yang dimohonkan pihaknya pada OJK, pada 16 Maret 2021 pihak Penyedia Jasa Keuangan (PJK) menggelar pertemuan yang menghadirkan banyak pihak, yakni pemegang polis, agen asuransi, dan serikat pekerja serta perwakilan perusahaan Bumiputera 1912. Pada agenda musyawarah ini, serikat pekerja baru mengetahui bahwa OJK pernah melayangkan surat pada pihak perusahaan untuk membentuk panitia pemilihan anggota pengelola perusahaan. Namun perintah dalam surat tersebut tidak diindahkan dan tidak pula dijalankan oleh perusahaan.

“Padahal di dalamnya memuat sanksi pidana jika perusahaan tidak melakukannya. Namun pada kenyataannya pun pihak OJK tidak pula memberikan sanksi sebagaimana tertera pada surat perintah yang diberikannya tersebut,” sampai Irwan.

Kemudian atas tidak ditanggapinya surat demi surat tersebut, pihak serikat pekerja pun mengajukan surat laporan dugaan pidana yang dikirimkan kepada Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Mabes Polri. Adapun latar belakang laporan ini, sambung Irwan, guna menyikapi desakan pada OJK atas penetapan pengelola statuter dari AJB Bumi Putera, yang dapat membahayakan konsumen akibat kondisi keuangan perusahaan. Akan tetapi, laporan tersebut dinyatakan ditolak karena proses penyidikan hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK. Sementara objek tindak pidana yang disampaikan oleh serikat pekerja tersebut dinilai bukan wewenang pihak Kepolisian sebagaimana ditentukan oleh UU P2SK.

Aset PT WAL Disita Negara

Sementara itu Johannes Guntoro Fistanio selaku pemegang polis dari PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha (Wanaartha Life/PT WAL) sekaligus Ketua Aliansi Korban Wanaartha menceritakan perjalanan pihaknya dalam pencarian keadilan. Atas dasar kepercayaan pada OJK atas pendirian dan perizinan pada PT WAL, ia pun membeli polis pada perusahaan tersebut. Namun pada Januari–April, Guntoro mendapatkan informasi seluruh aset Wanaarta senilai hampir 4,7 Triliun diblokir dan disita oleh negara. Sehingga pihaknya sebagai pemegang polis tidak bisa mencairkan polis yang sudah jatuh tempo. Pada beberapa waktu kemudian, perusahaan asuransi ini mengajukan praperadilan atas penyitaan asetnya namun hasil putusan peradilan menyatakan ditolak. Pada saat proses peradilan yang dilakukan perusahaan ini, pemegang polis mendapati fakta hanya 2,4 T dari keseluruhan aset PT WAL  yang disita negara.

“Mendapati kenyataan dibohongi atas informasi yang berbeda ini, kami pun mulai mencari informasi. Pada Agustus kami pun mulai mengirim surat minta perlindungan hukum yang berkeadilan bagi nasabah. Kami surati pihak OJK, sebagai tempat perlindungan konsumen. Tetapi OJK membuat kami sedih karena hingga persidangan saat ini berlangsung tidak ada respons balasan dari OJK. Padahal kami sangat butuh info yang benar dan jelas,” sampai Guntoro.

Pada surat tersebut, pihaknya meminta OJK untuk melakukan penyidikan atas persoalan yang dihadapi para nasabah Wanaartha. Surat tersebut, sambung Guntoro, baru dijawab tujuh bulan setelahnya dan jawaban atas surat tersebut pun tidak memberikan dampak apapun. Akibat lambatnya respons OJK, pihak Guntoro pada 18 Desember 2022 mengajukan permohonan pengadilan negeri mempertanyakan sebab aset perusahaan dirampas. Didapati dari sidang di peradilan bahwa OJK sebelumnya telah melakukan audit terhadap PT WAL dan OJK pulalah yang meminta agar aset perusahaan tersebut disita. Selain itu, pihak OJK juga telah mengetahui kondisi PT WAL sebelum akhirnya asetnya diblokir Januari 2020.

“Atas info valid ini, kami kemudian mengajukan laporan ke Bareskrim pada 16 Februari 2021. Laporan dengan dokumen kami pun direspons dalam waktu 2 bulan dan perkaranya juga langsung naik ke penyidikan dan pemilik perusahaan pun ditetapkan sebagai tersangka pada Oktober 2022. Namun, pemilik perusahaan pun sudah kabur ke luar negeri dan tidak diketahui di mana keberadaannya,” kisah Guntoro.

Oleh karena kejadian tersebut, sambung Guntoro, pihaknya kembali bersurat kepada OJK untuk meminta audiensi. Permintaan ini pun harus menempuh aksi sengit yang berujung pada diterimanya perwakilan penerima polis. Kehadiran pihaknya di hadapan OJK tersebut karena kekhawatiran akan dicabutnya izin dari PT WAL karena pergantian pengelola usaha dan disertai pula dengan pergantian pimpinan OJK. Hal tersebut pun terjawab, pergantian petinggi OJK pun berdampak pada terkatung-katungnya persoalan yang diajukan pihak Guntoro. Kenyataan pahit lainnya yang harus dihadapi adalah izin usaha PT WAL pun dicabut karena kekosongan keuangan perusahaan.  

Sebagai tambahan informasi, Permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Serikat Pekerja Niaga Bank Jasa Asuransi (SP NIBA) AJB Bumiputera 1912 (Pemohon I), I Made Widia (Pemohon II), Ida Bagus Made Sedana (Pemohon III), Endang Sri Siti Kusuma Hendariwati (Pemohon IV), Bakhtaruddin (Pemohon V), dan Muhammad Fachrorozi (Pemohon VI). Para Pemohon mengujikan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 ayat (5)  dan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 Ayat (1) huruf c UU P2SK.

Pasal 49 Ayat (1) huruf c UU P2SK menyatakan, “Penyidik Otoritas Jasa Keuangan terdiri atas: … c. pegawai tertentu, yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.”

Pasal 49 ayat (5) UU P2SK menyatakan, “Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.”

Dalam sidang Pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (19/6/2023), Pemohon I sebagai badan hukum privat, telah dirugikan hak konstitusionalnya dalam rangka membela kepentingan hukum anggotanya selaku pekerja dan warga negara, karena keberadaan ketentuan UU P2SK. Kerugian yang dialami karena tidak dapat menempuh upaya hukum melalui sarana penegakan hukum di Kepolisian RI atas terjadinya tindak pidana di sektor jasa keuangan—seperti permasalahan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Kecuali hanya melalui proses penegakan hukum saat penanganan penyidikan tunggal tindak pidana di sektor jasa keuangan, yang hanya dapat dilakukan oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Dalam pandangan Pemohon I konsekuensi keberadaan ketentuan UU P2SK tersebut, dinilai menimbulkan persoalan konstitusional dalam hal keberadaan Penyidik Pegawai Tertentu OJK. Sebagaimana diatur dalam ketentuan UU P2SK yang sangat potensial dengan penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi melakukan penanganan penyidikan tunggal tindak pidana sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Tertentu OJK, apabila dimaknai hanya satu-satunya sarana penanganan penyidikan tunggal tindak pidana oleh OJK. Ketentuan norma ini berdampak langsung terhadap kepentingan hukum anggota Pemohon I yang sedang dalam pengawasan dan penanganan administratif  oleh OJK.

Lebih terperinci dalam permohonan dinyatakan ketidakpastian hukum dalam proses penegakan hukum apabila Pemohon II hanya dapat menempuh upaya hukum sebagaimana ketentuan pasal-pasal a quo yang menyatakan fungsi penyidikan tunggal yang hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK. Dalam pandangan Pemohon sebagai bagian dari masyarakat, kemudian tidak terlayani dengan baik dalam penegakan hukum atas penolakan laporan pidananya. Sehingga fungsi OJK sebagai pihak yang melakukan penyidikan ini dinilai telah memonopoli penyidikan di sektor jasa keuangan. Akibatnya hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip due proces of law berdasarkan asas kepastian hukum yang adil, sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta mereduksi kewenangan Kepolisian RI sebagai organ utama alat negara yang bertugas menegakkan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.

Untuk itu, dalam petitum provisinya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan provisi para Pemohon. Selain itu, Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan menunda keberlakuan UU P2SK sampai ada putusan Mahkamah dalam perkara a quo. Selama penundaan tersebut, undang-undang yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Sumber: HUMAS MAHKAMAH KONSTITUSI RI

Toko-mempromosikan-kedatangan-Apple-Watch-Series-4-dan-iPhone-XS
berita terkait
Komentar