Bangkinang – Persidangan lanjutan perkara gugatan PTPN IV Regional III terhadap Koperasi Petani Sawit Mandiri (Koppsa M) dan masyarakat Desa Pangkalan Baru kembali digelar di Pengadilan Negeri Bangkinang pada Selasa, 15 April 2025.
Sidang dipimpin oleh Ketua PN Bangkinang, Sonny Nugraha, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dari pihak tergugat. Dalam perkara ini, PTPN IV menggugat Koppsa M senilai Rp140 miliar terkait pengelolaan kebun sawit kemitraan seluas 1.650 hektare di Kecamatan Siakhulu, Kabupaten Kampar, Riau.
Saksi dan ahli yang dihadirkan tergugat masing adalah Idrus tim penilai dari Dinas Perkebunan Kabupaten Kampar dan Dr. Asharudin M. Amin, pakar agribisnis dari Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau (UIR). Keduanya mengungkap sejumlah persoalan serius terkait pembangunan dan pengelolaan kebun sawit yang dilakukan PTPN IV.
Menurut keterangan ahli, permasalah kebun KKPA telah terjadi sejak perencanaan dan pada saat studi kelayakan sebelum proses konstruksi dilakukan. Menurut ahli jika perencanaan dilaksanakan dengan baik dan matang banyak persoalan di kebun KKPA KOPPSA-M yang tidak perlu terjadi, dari lahan puso seluas 100 ha hingga persoalan CPCL yang seharusnya telah ditelaah sebelum masuk proses konstruksi oleh kontraktor (dalam hal ini PTPN IV Regional III).
Selain itu ahli menekankan bahwa kelebihan biaya akibat kesalahan pembangunan oleh perusahaan inti (PTPN) tidak boleh dibebankan kepada masyarakat.
“Perusahaan inti pada dasarnya kontraktor yang membangun kebun. Dengan adanya dan disetujuinya Rancangan Anggaran Biaya (RAB) pembangunan kebun, artinya perusahaan inti menyatakan kesanggupannya untuk membangun kebun. Jika terjadi kelebihan biaya maka itu merupakan risiko bisnis dari perusahaan inti. Tidak boleh dibebankan kepada masyarakat”, ujar Dr. Asharudin.
Selain itu saksi Idrus yang merupakan tim penilai dari Dinas Perkebunan Kabupaten Kampar menerangkan pada saat timnya melakukan survey ke kebun KKPA KOPPSA-M pada tahun 2017, ditemukan tanaman tumbuh tidak optimal dan sebagian besar kebun dalam kondisi terbengkalai dan telah menjadi hutan semak belukar. Dari total luas 1.650 hektare, hanya sekitar 400 hektare yang dinilai masih berproduksi, itu pun dengan hasil yang jauh dibawah standar. Sementara itu 1200 ha lebih dalam kondisi rusak berat dan perlu dilakukan penanaman ulang.
“Semua kerugian yang timbul akibat kelalaian pembangunan dan pengelolaan kebun ini menjadi tanggung jawab penuh dari PTPN IV,” kata Dr. Asharudin dalam keterangannya di hadapan majelis hakim.
Keterangan serupa mengenai kondisi kebun juga diungkap oleh saksi lain dalam persidangan sebelumnya, bahwa akses jalan yang buruk menyebabkan proses distribusi bibit sawit tersendat, hingga sebagian besar penanaman dilakukan secara asal. Kini, sebagian besar lahan ditumbuhi semak belukar dan pohon liar.
Persidangan sebelumnya juga menyinggung dugaan pelanggaran prosedur hukum dalam proses pengambilalihan kredit dari Bank Agro ke Bank Mandiri pada tahun 2013. Pengalihan ini dilakukan dengan dasar dokumen keputusan Rapat Anggota Luar Biasa (RALB) yang diduga palsu, hal ini menjadi perkara hukum tersendiri yang sedang berlangsung.
Kuasa hukum Koppsa M, Armilis Ramaini, menyebut gugatan PTPN IV sebagai bentuk pengalihan tanggung jawab. “Ini ironi. PTPN IV gagal membangun kebun, tapi justru petani yang digugat,” ujarnya.
Sidang akan dilanjutkan dua pekan ke depan dengan agenda mendengarkan keterangan tambahan dari para pihak. (Rls)